Laman

Rabu, 13 Januari 2016

ABUL FIDAA IBNU KATSIR 701-774 H/1302-1373 M




Al Hafizh Ibnu Katsir dilahirkan pada permulaan abad ke 8 Hijriyyah. Beliau mengisahkan sendiri dalam Al Bidayah, mengenang berbagai kejadian pada tahun 701: "Pada masa itulah dilahirkan Ismail bin Umar bin Katsir Al Qurasyi Al Bushrawi Asy Syafi'i, semoga Allah memberikan ampunan kepadanya."

Kota kelahiran Ibnu Katsir adalah Mujaidil Al Qaryah, masih termasuk wilayah Bushra, di Syaam. Yakni kampung kelahiran ibunda beliau juga, Maryam binti Faraj bin Ali. Ayahnya sendiri pernah menjabat sebagai khatib di kota tersebut. Ia sempat tinggal di sana cukup lama sekali dalam kemakmuran, berkecukupan, namun tetap rajin membaca. Ibnu Katsir telah menceritakan kepada kami tentang nasab dan hal ihwal beliau, saat beliau mengenang wafat ayahandanya tahun 703: "Di kota itulah ayahku meninggal, Al Khatib, Syihabuddin, Abu Hafsh, Umar bin Katsir bin Dhawin bin Dar' Al Qurasyi, dari (suku) Bani Hashlah. Mereka dikenal sebagai orang-orang terhormat dan memiliki nasab yang baik. Sebagian diantaranya sempat diketahui oleh Syaikh kita Al Mizzi, dan beliau amat tertarik dan terkesan dengan nasab tersebut. Akhirnya karena hal itu beliau menuliskan nasab Al Qurasyi pada nasabku."

Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan bahwa keluarganya sesudah itu sempat pindah ke Damaskus, untuk menemani saudara kandungnya Abdul Wahhab pada tahun 707 H. Ibnu Katsir menceritakan: "Ia adalah saudara kandung kami, dan dia juga teman setia yang sayang kepada kami. Ia meninggal dunia di usia lanjut pada tahun 750-an. Melalui beliau, aku banyak menimba ilmu. Dengan jasa beliau, Allah memberikan kemudahan kepadaku untuk menuntut ilmu, dan melapangkan jalan yang terasa sulit bagiku."

Di Damaskus, Ibnu Katsir berjumpa dengan salah seorang ulama besar. Damaskus kala itu memang menjadi markas besar ilmu di dunia Islam. Di kota ini terdapat majelis-majelis hafalan Al Qur'an, lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dan masjid-masjid. Ibnu Katsir banyak mengambil pelajaran dari pertemuannya dengan banyak tokoh-tokoh di masanya. Gurunya yang paling berpengaruh dalam kehidupan beliau dan dalam orientasi pemikiran beliau adalah Syaikh Al Hafizh Abul Hajaj Al Mizzi yang mengangkatnya sebagai menantu sehingga beliau bisa menikahi puterinya, Zainab. Persahabatan dan hubungan dekat beliau dengan Al Mizzi banyak memberi pengaruh yang jelas pada tulisan-tulisan beliau. Tak lama setelah perkenalan beliau dengan Al Mizzi, beliau sudah menjadi tokoh ulama mensejajari tokoh-tokoh Damaskus. Para murid berdatangan kepada beliau. Sebagaimana diceritakan oleh AnNua'imi, beliau berhasil menjabat sebagai Syaikh di Ummu Shalih, setelah wafatnya Syaikh di lembaga pendidikan itu, yaitu AdzDzahabi (748 H). Beliau juga menjadi Syaikh, pengajar di Daarul Hadits Al Asyrafiyyah sesudah wafatnya Syaikh di lembaga pendidikan itu, yakni Syaikh Taqiyyuddin AsSubki (683-756 H). Namun itu hanya berlangsung sebentar, jabatan itu kemudian diambil lagi dari beliau.

Ibnu Katsir memiliki 4 orang putra: Umar (783 H), Ahmad (765-801 H), Muhammad (759-803 H), dan Abdul Wahhab (767-840 H). Tiga anaknya yang pertama, diceritakan biografinya oleh Ibnu Hajar dalam Inbaa-ul Ghumur II : 75, IV: 39, 321-322. Sementara tiga yang lain diceritakan biografinya oleh AsSakhaawi dalam AdhDhau Al Laami' pada tahun I : 243, VII : 138, V : 98. Ahmad sendiri tidak dikenal sebagai ulama. Adapun anak-anak beliau yang lain, sempat mempelajari banyak riwayat, dan banyak juga ulama yang meriwayatkan hadits dari mereka. Muhammad sendiri sempat menulis sejarah berbagai hal yang terjadi di zamannya.

Berkaitan dengan aqidahnya, para ulama menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang lurus pemahaman agamanya dan beraqidah salafi. Besar kemungkinan itu pengaruh dari persahabatan beliau sebelumnya dengan Syaikh beliau, Abul Abbas Ahmad Ibnu Taimiyyah, juga karena beliau banyak belajar dari Syaikh Al Mizzi, yang juga mertuanya, serta guru-guru beliau yang lain, sehingga beliau dikenal dengan itu.

Pernah juga terjadi konflik antara beliau dengan Burhanuddin Ibnu AsSyaikh Syamsuddin yang dikenal dengan Ibnul Qayyim (719-767) yang diceritakan oleh AnNu'aimi: "Beliau memiliki jawaban-jawaban yang tidak terbantahkan lagi. Ibnul Qayyim pernah terlibat debat dengan Ibnu Katsir dalam sebuah pertemuan. Ibnu Katsir bertanya: "Apakah engkau membenciku karena aku seorang Asy'ari?" Ibnul Qayyim menjawab: "Kalaupun seandainya dari mulai kepalamu hingga telapak kakimu tumbuh sya'r (rambut), semua orang tetap tidak akan percaya bahwa engkau adalah Asy'ari." (Lihat AdDaaris I:89). Disini harus betul-betul difahami ucapan Ibnu Katsir, bahwa ucapannya itu bukanlah pengakuan bahwa beliau beraqidah Asy'ariyyah. Artinya: "Saya tidak mendapatkan sebab kenapa engkau membenciku, kecuali persangkaanmu bahwa aku adalah Asy'ari.!!!" Ibnul Qayyim menjawab: "Siapa yang menyangka engkau demikian?"

Adapun madzhab beliau dalam fiqih, beliau bermadzhab Syafi'iyyah. Nanti akan dijelaskan saat kita berbicara tentang tulisan-tulisan beliau.

Allah mewafatkan beliau pada bulan Sya'ban tahun 774 H, dan dikebumikan di perkuburan AshShufiyyah, di sisi Syaikh beliau Ibnu Taimiyyah. Semoga Allah memberikan kepada beliau rahmat yang luas.


Para Guru Beliau

Ilmu hadits lebih banyak mendominasi Ibnu Katsir. Beliau telah banyak bertemu dengan para guru di bidang hadits. Oleh sebab itu berbagai tulisannya banyak berkutat seputar ilmu hadits dan ibarat distempel dengan ilmu hadits, meskipun tulisan-tulisan itu berkaitan dengan tafsir atau fiqih, sebagaimana yang akan kita jelaskan nanti. Ibnu Hijji sendiri, selaku murid beliau menggambarkannya: "Ia adalah orang yang paling hafal terhadap matan hadits yang pernah kami jumpai, paling mengerti takhrij dan para perawinya, di antara yang shahih dan yang dhaif. Teman-teman seangkatan dan para gurunya sudah mengakui hal itu. Ia dapat menyampaikan banyak hal tentang tafsir dan sejarah, serta jarang sekali lupa. Ia seorang ahli fiqih dan berpemahaman baik, bagus agamanya, selalu menghidupkan malam hingga akhir waktu, memiliki kemampuan bahsa Arab yang bagus sekali dan pandai menggubah syair. Tak bisa kuhitung berapa kali aku berjumpa dan menemuinya dalam banyak waktu, aku selalu bisa mengambil ilmu darinya."

Berikut sebagian guru-guru beliau secara berurutan sesuai dengan waktu wafat mereka:

1. Abu Yahya Zakariyya bin Yusuf bin Sulaiman bin Hammad Al Bajali AsySyafi’i, juru khutbah dan pengajar di AthThayyibah dan Al Asadiyyah. Ibnu Katsir menuturkan: “Ia adalah warisan ulama AsSalaf. Beliau memiliki majelis taklim yang ramai di masjid Jami’ Al Umawi dan dihadiri banyak penuntut ilmu. Beliau giat menekuni ilmu Faraid dan ilmu-ilmu lain. Beliau wafat pada tanggal 23 Jumadil Ula tahun 722 H.”

2. Abu Nashr, Muhammad bin Mumil (629-723 H). Ibnu Katsir menceritakan: “Ia banyak mendengar riwayat, banyak mengajarkan hadits dan banyak pelajaran lainnya.”

3. Abu Muhammad Al Qasim bin ‘Asakir (629-723 H). Ibnu Katsir menceritakan: “Ia adalah guru kami yang mulia, yang berumur panjang.” Beliau sempat belajar dari gurunya itu di Damaskus.

4. Abu Zakariya Yahya bin Al Faadhil (645-724 H). Ibnu Katsir menceritakan: “Ia banyak mendengar riwayat, dan Imam AdzDzahabi sempat mengeluarkan sebagian riwayatnya. Kami pernah mempelajari riwayat AdDaaruquthni dan yang lainnya dari beliau.”

5. Muhammad bin Umar bin Utsman bin Umar AshShiqalli kemudian AdDimasyqi (725 H). Ibnu Katsir meriwayatkan: “Dia adalah orang yang terakhir kali meriwayatkan dari Ibnu AshShalah sebagian riwayat dari Sunan Al Baihaqi. Kami sempat mempelajari sebagian di antaranya.”

6. Ishaq bin Yahya Al Aamidi (640-725 H). Ibnu Katsir menceritakan dalam AdDaaris Fi Taarikhil Madaaris: “Ia termasuk guru kami yang berumur panjang, dan bisa dijadikan sandaran.” Ibnu Katsir sempat belajar darinya di Damaskus.

7. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abul Hijaa, yang dikenal dengan Ibnu AzZarraad. Beliau juga sempat belajar darinya di Damaskus.

8. Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Dzuaib, bin Qadhi Syahbah (653-726 H). AnNu’aimi menceritakan: “Ibnu Katsir sempat belajar fiqih dari Kamaluddin bin Qadhi Syahbah.”

9. Syaikhul Islam Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah (661-728 H). Ibnu Katsir berterus terang bahwa ia pernah mempelajari riwayat darinya, dalam Al Bidayah XIV: 114, 127. Ibnu Qadhi Syahbah dalam Tabaqat-nya menceritakan: “Ia memiliki spesialisasi kelimuan Ibnu Taimiyyah, membela pendapat-pendapat beliau dan banyak mengikuti pemikiran beliau.”

Mereka hanyalah sebagian dari guru-guru beliau. Telah memberikan ijazah kepada beliau di Mesir, Abu Musa Al Qiraafi, Al Husaini, Abul Fath AdDabbusi, Ali bin Umar Al Waani dan Yusuf Al Khatani.


Murid-Murid Beliau

Murid-murid beliau banyak sekali. Barangsiapa yang ingin mengenal mereka, silahkan merujuk kepada kitab Anbaa-ul Ghumur dan AdDurarul Kaaminah karya Ibnu Hajar, serta AdhDhau-ul Laami' karya AsSakhaawi.


Tulisan-Tulisan Beliau

Al Bidayah wan Nihayah, Al Kawakibud Daraari, Kita AsSiirah Al Muthawwal, Ikhtisar AsSirah AnNabawiyyah, Sirah Abi Bakar, Sirah Umar Ibnul Khattab (terpisah), Musnad AsySyaikhain Abi Bakar wa Umar, Thabaqaatul Fuqahaa AsySyafi'iyyin, Al Waadhihun Nafis Fi Manaaqibibni Idris, Syarah AtTanbih, Takhrij Ahadits Mukhtashar Ibnu Hajib, Ikhtisahaar Ulumil Hadits, Jami'ul Masaanid, AtTakmil Fi Ma'rifatitsTsiqaat wath Dhu'afaa wal Majaahil, Al Ahkaamush Shughra fil Hadits -Seperti disebutkan oleh Ibnu Haaji Khalifah- AlAhkaamul Kubra, Syarah Shahihil Bukhari, Al Muqaddimaat, Al Ijtihad Fi Thalabil Jihaad, Sirah Mankili Baghaa, Ms-alah FisSamaa', Simaa'ul Ghina bil Alhaan, Maulidur Rasulullah, Ahaditsut Tauhid war Radd 'Alasy Syirk, Kitaabul 'Aqaa-id, Kitaabun fi AshShiyaam.


Sumber : AtTibyan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar